Makalah Difteri
TUGAS MAKALAH MIKROBIOLOGI
INFEKSI Corynebacterium
diphteriae
Disusun oleh :
Nuri Dyah Ayu Pitaloka
G1B014062
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN
JURUSAN
KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Difteri merupakan salah satu penyakit yang
sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan,
terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau
tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara
yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita.
Penderita
difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri
dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan
pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan
anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat penduduk dingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting,
karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan
sumber dan penularan penyakit.
Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri
jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang dimaksud difteria ?
2. Bagaimana
epidemiologi difteria?
3. Bagaimana
etiologi difteria?
4. Bagaimana
sifat-sifat bakteri difteria?
5. Bagaimana
patogenesis difteria?
6. Bagaimana
gejala klinis difteria?
7. Bagaimana
diagnosis pada penderita difteria?
8. Bagaimana
cara penularan wabah difteria?
9. Bagaimana
cara pengobatan dan pencegahan pada penderita difteria?
C. TUJUAN
1. Mengetahui
pengertian difteria.
2. Mengetahui
epidemiologi dari difteria.
3. Mengetahui
etiologi difteria.
4. Mengetahui
sifat-sifat bakteri penyebab difteria.
5. Mengetahui
patogenesis pada penderita difteria.
6. Mengetahui
gejala klinis yang dialami penderita difteria.
7. Mengetahui
cara diagnosis pada penderita difteria.
8. Mengetahui
cara penularan wabah difteria
9. Mengetahui
cara pengobatan dan pencegahan pada penderita difteria..
BAB
II
TOPIK
Difteria adalah
penyakit akut yang disebabkan oleh toksin dari bakteri Corynebacterium diptheriae. Penyakit ini dijelaskan pertama kali
oleh Hippocrates pada abad ke-5 SM, kemudian baru pada awal abad ke-6 Aetius
menceritakan tentang epidemi difteria. Pada tahun 1883, Klebs meneliti kuman
difteria pada pseudomembran dan dibiakan oleh Loffler pada tahun 1884. Pada
akhir abad ke-19, para ahli menemukan antitoksin difteria, sedangkan toksoid
baru dikembangkan pada tahun 1920-an.
Difteria
masih merupakan penyakit endemik di banyak negara di dunia termasuk Indonesia.
Pada awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada
negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun
1990-an masih terjadi epidemi yang besar di Rusia dan Ukrania. Pada tahun
2000-an epidemi difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga.
Difteria
masuk ke Indonesia pada abad ke-19. Semakin
lama wabah difteria semakin menyebar, kasus yang baru saja ditemukan
adalah penetapan penyakit difteria sebagai kejadian luar biasa (KLB) di Padang,
Sumatera Barat pada Pebruari 2015. Terdapat dua kabupaten di daerah Sumatera
Barat yang terkena wabah difteri yaitu kota Padang dan Solok. Penyakit ini
telah menewaskan 2 anak dari 7 anak yang dirawat di RSUP M.Djamil Padang.
Meskipun telah dilakukan imunisasi masal namun tetap saja perlu pengawasan dan
pencegahan lebih lanjut mengenai kasus difteri ini. Penyakit ini juga telah
mewabah ke Aceh, meskipun Dinas Kesehatan Aceh belum menetapkan KLB.
Kasus
serupa juga pernah terjadi di Probolinggo, Jawa Timur pada September 2011,
namun kasus ini segera ditangani dengan mengerahkan petugas medis dan pemberian
vaksin massal dan imunisasi.
BAB
III
DISKUSI
MASALAH
A. PENGERTIAN
DIFTERIA
Difteria adalah suatu penyakit
infeksi mendadak yang di sebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria.Penyakit ini mudah menular dan yang di serang
terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya
pseudomembran dan di lepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum
dan lokal.
B. EPIDEMIOLOGI
Sebelum era vaksinasi,
difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan keematian. Namun sejak
mulai diadakannya program imunisasi DPT (Difteri Pertusis Tetanus) di Indoneia
pada tahun 1974, maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat
banyak. Angka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia
menurut laporan Parwati S.Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota
Jakarta (RSCM), Bandung (RSHS), Makasar (RSWS), Semarang (RSK), dan Palembang
(RSMH) rata-rata sebesar 15%.
Di Indonesia, dari data lima rumah
sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki
melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien
difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9
tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota
Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia
15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun. Khusus provinsi Sumatera Selatan,
selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung terjadi penurunan,
kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2
kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua
untuk kasus difteri pada tahun 2008.
Trias Epidemiologi Difteria
a.
Host : Manusia adalah inang atau
host alamiah satu-satunya bagi Corynebacterium
dipheriae. Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi ialah pada
anak-anak berusia 2-5 tahun. Pada orang dewasa difteri terjadi dengan frekuensi
rendah.
b.
Agent : Corynebacterium
dipheriae.
c.
Environtment : Penyakit ini dijumpai
pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu,
menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Lingkungan yang buruk merupakan sumber serta penularan penyakit.
C.
ETIOLOGI
Difteria berasal dari bahasa Yunani,
diphtera (leather hide) yang berarti kulit yang tersembunyi. Penyakit ini
mempunyai dua bentuk, yaitu :
1.
Tipe Respirasi, yang disebabkan oleh
strain bakteri yang memproduksi toksin (toksigenik).
2.
Tipe Kutan, yang disebabkan oleh
strain toksigenik maupun non toksigenik.
Tipe
respirasi biasanya mengakibatkan gejala berat sampai meninggal,
sedangkan tipe kutan umumnya menunjukan gejala ringan dengan peradangan yang
tidak khas, sehingga tidak lagi dilaporkan dalam program penanggulangan.
Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 tipe varian, yaitu
mitis, intermedius dan gravis. Menurut bakteriolofag lisisnya, C.diphteriae dapat dibagi menjadi 19
tipe.
Adapun menurut virulensinya, bakteri
ini dibagi menjadi tipe ganas dan tipe jinak. Bakteri tipe jinak dapat di
temukan pada tenggorok dan selput mukosa manusi. Tipe ini mengeluarkan toksin
yang bekerja sebagai imunogen yang mampu mengikat antitoksin diteria. Jadi
toksin berfungsi sebagai antitoksin antibodi sehingga sering terjadi infeksi
yang tanpa gejala (carrier).
Kuman dengan strain yang tidak ganas
dapat berubah menjadi ganas apabila terinfeksi oleh bakteriofag atau virus.
Eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang tidak tahan
terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat memproduksi toksin bila terinfeksi
oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.
D.
SIFAT-SIFAT BAKTERI
Polimorf,gram positif,tidak bergerak dan tidak membentuk spora,mati pada
pemanasan selama 10 menit,tahan sampai beberapa minggu
dalam es,air,susu dan lender yang telah mongering. Terdapat 3 jenis basil yaitu
bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk kolonin dalam
biakan agar darah yang mengandung kalium telurit.
Basil dapat membentuk :
1.
Pseudomembran yang sukar
diangkat,mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah
yang terkena terdiri dari fibrin,leukosit,jaringan nekrotik dan basil.
2.
Eksotoksin yang sangat ganas dan
dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam di absorbs dan memberikan gambaran
perubahan jaringan yang khas terutama
pada otot jantung,ginjal dan jaringan saraf.satu perlima
puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan lebih kurang 1/50 dosisi ini di pakai
untuk uji schick.
Schick tes :
1.
Tes kulit ini digunakan untuk
menetukan status imunitas penderita.tes ini
tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari
kemudian.
2.
Caranya:0,1 ml (1/50 MLD)cairan
toksin difteri di suntikkan intradermal. Bila dalam
tubuh penderita tidak ada antitoksin,terjadi pembengkakan,eritema dan sakit
yang terjadi 3-5 hari setelah suntikan. Bila pada
tubuh penderita terdapat antitoksin maka toksin akan dinetralisir sehingga
tidak terjadi reaksi kulit.
E. PATOGENESIS
Basil hidup dan berkembang pada traktus respitarius bagian atas
terlebih-lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil,sinus dan
lain-lain.tetapi walaupun jarang basil dapat pula hidup pada daerah
vulva,telinga dan kulit.pada tempat ini basil
membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul
local atau kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh
traktus respiratorius bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat
. Kelenjar getah bening sekitarnya akan mengalami hyperplasia dan mengandung
toksin.eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik
atau mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama pada
otot-otot pernafasan.toksin juga menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan
ginjal,malahan dapat timbul nefritis interstitialis(jarang sekali). Kematian
terutama di sebabkan oleh sumbatan membrane pada laring dan trakea, gagal
jantung, gagal pernafasanatau akibat komplikasi yang sering yaitu
bronkopneumonia.
Klasifikasi Infeksi :
Biasanya pembagian di buat menurut
tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi.pembagian berdasarkan
berat ringannya penyakit juga di ajukan oleh Beach dkk. (1950)
sebagai berikut:
a.
Infeksi
ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa
hidung atau fausial dengan gejala hanya nyeri menelan.
b.
Infeksi sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas
sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat
diatasi dengan pegobatan konservatif.
c.
Infeksi berat
Di sertai gejala sumbatan jalan
nafas yang berat,yang hanya dapat diatasi dengan trakeastomi. Juga gejala
komplikasi miokarditis,paralisis ataupun nefritis dapat menyertainya.
F.
GEJALA KLINIS
Masa tunas
2-7 hari.selanjutnya gejala klinis dapat di bagi dalam gejala umum dan gejala
lokal serta gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena gejala umum
yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi,lesu,pucat,nyeri kepala dan
anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali.gejala ini biasanya
disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau
nyeri menelan atau sesak nafas dengan serak dan stridor,sedangkan gejala akibat
eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti
miokarditis,paralisis jaringan saraf atau nefritis.
Corynebacterium diphtheriae bersifat toxin-medicated disease yang membentuk membran atau selaput pada
nasofaring (pseudomembrane) dan
toksin dapat menyebar ke dalam aliran darah yang bisa mengakibatkan
miokarditis, neuritis, trombositopenia, dan protein nuria.
1. Difteri hidung
Gejalanya paling ringan dan jarang terdapat (hanya 2%).mula-mula hanya
tampak pilek,tetapi kemudian sekeret yang kluar tercampur darah sedikit yang
berasal dari pseudomembran.penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai faring
dan laring.penderita diobati seperti penderita difteri lainnya.
2.
Difteri
faring dan tonsil (difteri
fausial)
Paling
sering di jumpai (75%).terdapat radang akut
tenggorokan,demam sampai 38,5 cc,takikardi,tampak lemah,napas berbau,timbul
pembengkakan kelenjar regional (bull neck).membran dapat berwarna putih,abu-abu kotor,atau abu kehijauan dengan tepi
yang sedikit terangkat.bila membran diangkat akan timbul pendarahan.tetapi
prosedur ini dikontradikasikan memper cepatpenyerapan toksin.
3.
Difteri laring
dan
trakea
Lebih sering
sebagai jalaran difteri faring dan tonsil (3 kali lebih banyak )dari pada
primer mengenai laring.gejala gangguan jalan nafas berupa suara serak dan
stiridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat timbul sesak nafas
berat,sianosis,demam sampai 40 cc dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium.pembesaran kelenjar
regional akan menyebabkan bull neck.pada pemeriksaan laring tampak kemerahan,sebab,banyak
sekeret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran.bila anak terlihat sesak dan
payah sekali maka harus segera ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai
pertolongan pertama.
4.
Difteri
kutaneus
Merupakan
keadaan yang sangat jarang sekali terdapatan eng tie (1965) mendapatkan 30% infeksi kulit
yang diperiksanya mengandung kuman difteri.dapat pula timbul di daerah konjungtiva,vagina dan
umbilikus.
G.
DIAGNOSIS
Diagnosis
dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi
prognosa penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa
menunggu hasil mikrobiologi.karena preparat smear kurang dapat di
percaya,sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Adanya membran di tenggorok tidak terlalu
spesifik untuk difteri,karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya
membran.tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit
lain,warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai
dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya.bila diangkat
terjadi pendarahan.biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.
Diagnosa banding :
Pada difteri nasal perdarahan yang
timbul Harus dibedakan dengan perdarahan akibat luka dalam hidung,korpus
alienium atau sifilis kongenital.
1.
Tonsilitis folikularis atau
lakunaris
Terutama bila membran masih berupa
bintik-bintik putih.anak harus dianggap sebagai penderita difteri bila panas
tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu
dan mudah berdarah bila diangkat.tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas
yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah,faring dan tonsil
tampak hiperimis dengan membran putih kekuningan,rapuh dan lembek,tidak mudah
berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.
2.
Angina plaut vincent
Penyakit ini juga membentuk membran
yang rapuh,tebal,berbau dan tidak mudah berdarah.sediaan langsung akan
menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirila (gram negatif).
3.
Infeksi tenggorok oleh mononukleosus
infeksiosa
Terdapat kelainan ulkus membranosa
yang btidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum.khas pada
penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.
4.
Blood dyscrasia (misal agranulositosis
dan leukemia)
Mungkin pula ditemukan ulkus
membranusa pada faring dan tonsil.difteri laring harus dibedakan dengan
laringitis akuta,laringotrakeitis,laringitis membranosa(dengan membran rapuh
yang tidak berdarah)atau benda asing pada laring,yang semuanyaakan memberikan
gejala stridor inspirasi dan sesak.
H.
PENULARAN
Penularan penyakit ini melalui
droplet saat penderita (carier) batuk, bersin, dan berbicara. Akan tetapi, debu
atau muntahan juga bisa menjadi media penularan. Masa inkubasinya adalah 2-5
hari. Carrier adalah orang yang terinfeksi bakteri pada hidung atau tenggorok
tetapi tidak mengalami gejala penyakit. Penyakit ini sangat menular ke teman
sekolah, teman bermain dan tetangga.
Masa penularan difteria dari
penderita adalah 2-4 minggu, sedangkan penularan dari carrier bisa mencapai 6
bulan. Penularan pada bayi sangat jarang karena masih ada antibodi pasif dari
ibunya yang dapat bertahan sampai 6-12 bulan. Seiring dengan penurunan
kekebalan pasif dari ibunya, bayi yang berusia lebih dari 1 tahun akan semakin
mudah terkena infeksi difteria.
Kuman difteria masuk ke dalam tubuh
manusia melalui mukosa atau selaput lendir. Kuman akan menempel dan berkembang
biak pada mukosa saluran napas atas. Selanjutnya kuman akan memproduksi toksin
yang merembes dan menyebar ke daerah sekitar dan ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe.
I.
PENGOBATAN
Pasien harus dirawat di ruang
isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan ke pasien lainnya. Pengobatan
ditunjukan untuk memulihkan pasien akibat peradangan dan toksin bakteri itu
sendiri, yang terdiri dari :
1.
Diphteriae
antu-toxin (DAT) atau antidifteri serum (ADS) merupakan
antitoksin yang bisa diproduksi dari serum kuda dan akan mengikat toksin dalam
darah namun tidak dalam jaringan. DAT diberikan teradap tersangka penderita
difteria tanpa menunggu konfirmasi hasil laboratorium.
2.
Antibiotik enteromisin atau
penicilin diberikan untuk terapi dan profilaksis. Pengobatan tersangka difteria
bertujuan untuk menekan penularan penyakit.
3.
Kortikosteroid untuk mencegah dan
mengurangi peradangan.
J.
PENCEGAHAN
Pencegahan dilakukan dengan
memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi dan vaksin
DT (difteria, tetanus) pada anak usia sekolah dasar, suatu penelitian
melaporkan bahwa pada golongan anak yang diimunisasi terjadi infeksi ringan
sebanyak 81,3%, infeksi sedang 16,4%, san infeksi berat hanya 2,3% sedangkan
pada anak yang tidak diimunisasi terjadi infeksi ringan sebanyak 19,0% infeksi
sedang 21,5% dan infeksi berat 59,5%. Mortalitas pada anak yang tidak diberi
imunisasi empat kali lebih besar dibandingkan anak yang diberi imunisasi.
Setiap bayi (0-1tahun) perlu diberi
vaksin DPT sebanyak tiga kali yang dimulai pada anak usia dua bulan dengan
selang waktu antar suntikan minimal satu bulan, dan diulangi lagi setelah anak
berusia 6-7 tahun melalui program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) di
sekolah dasar.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Difteria
adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
corynebacterium diphtheria.mudah menular dan yang serang terutama traktus
respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan
dilepaskannyaeksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.
Tanda dan
gejalanya adalah demam yang
tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah,nyeri
telan,sesak napas,serak hingga adanya stridor.
B.
SARAN
Untuk mencegah penyebaran wabah difteri yang meluas,
maka dilakukan pemberian vaksin DPT dan imunisasi DPT pada anak. Selain itu
peningkatan sanitasi perorangan maupun masyarakat juga diperlukan dalam
pencegahan wabah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Widoyono.2001.Penyakit
Tropis Epidemiologi Penularan Pencegahan & Pemberantasannya Edisi Kedua.
Jakarta : Erlangga.
FKUI.1985.Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta : Bagian Ilmu kesehatan
anak FKUI.
Dr.TH.Rampengan,DSAK,dan Dr,I.R Laurent.1993. Penyakit
Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta : EGC.
A.aziz,Alimut Hidayat.2008.Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.Jakarta : Salemba
Medika.
Komentar
Posting Komentar