ETIKA HUBUNGAN TERAPEUTIK TENAGA KESEHATAN DENGAN PASIEN DAN KELUARGA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk sosial dimana manusia selalu
berhubungan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu
faktor yang mendukung timbulnya hubungan tersebut adalah komunikasi. Tenaga
kesehatan yang memiliki keterampilan berkomunikasi secara terapeutik tidak saja
akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, mencegah terjadinya
masalah ilegal, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan kesehatan dan
meningkatkan citra profesi tenaga kesehatan serta citra rumah sakit, tetapi
yang paling penting adalah mengamalkan ilmunya untuk memberikan pertolongan
terhadap sesama manusia.
Komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik bukan
pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus direncanakan, disengaja, dan
merupakan tindakan professional
Komunikasi menjadi tidak efektif
karena kesalahan dalam menafsirkan pesan yang diterimanya. Hal ini disebabkan
karena setiap manusia mempunyai keterbatasan dalam menelaah informasi yang
disampaikan. Hal ini juga sering terjadi pada institusi pelayanan kesehatan,
misalnya pasien sering complain karena tanaga kesehatan tidak mengerti maksud
pesan yang disampaikan pasien,sehingga pasien tersebut menjadi marah dan tidak
datang lagi mengunjungi pelayanan kesehatan tersebut.
Jika kesalahan penerimaaan pesan
terus-menerus berlanjut dapat berakibat pada ketidak puasan baik dari pasien
maupun tenaga kesehatan itu sendiri. Kondisi ketidakpuasan tersebut akan
berdampak pada rendahnya mutu pelayanan yang diberikan, dan pindahnya pasien
kepada institusi pelayanan kesehatan lainnya yang dapat memberikan kepuasan.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
”Bagaimanakah Etika Hubungan Terapeutik Tenaga Kesehatan dengan Pasien dan
Keluarga”
C. Tujuan
dan Manfaat
Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui etika
hubungan terapeutik tenaga kesehatan dengan pasien dan keluarga.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003 48).
Komunikasi
terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling
memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dan
komunikasi ini adalah adanya saling membutuhan
antara perawat dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi
pribadi di antara perawat dan pasien, perawat membantu dan pasien menerima
bantuan (Indrawati, 2003 : 48).
Komunikasi
terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus direncanakan,
disengaja, dan merupakan tindakan profesional. Akan tetapi, jangan sampai karena terlalu asik bekerja, kemudian melupakan
pasien sebagai manusia dengan beragam latar belakang dan masalahnya (Arwani,
2003 50).
B.
Manfaat Komunikasi Terapeutik
Manfaat komunikasi terapeutik.
(Christina, 2003) adalah:
a. Mendorong dan menganjurkan kerja
sama antara perawat dengan pasien melalui hubungan perawat-pasien.
b. Mengidentifikasi, mengungkapkan
perasaan, mengkaji masalah, dan mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh
perawat.
C.
Tujuan Komunikasi Terapeutik (Indrawati, 2003 48).
Membantu
pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat
mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi orang lain,
lingkungan fisik dan diri sendiri.
Kualitas
asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien sangat dipengaruhi oleh kualitas
hubungan perawat-klien, Bila perawat tidak memperhatikan hal ini, hubungan
perawat-klien tersebut bukanlah hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang
mempercepat kesembuhan klien, tetapi hubungan sosial biasa.
D.
Jenis Komunikasi Terapeutik
Komunikasi
merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu
untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Menurut Potter dan
Perry (1993) dalam Purba (2003), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu
intrapersonal, interpersonal dan publik.
Menurut
Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen (1995)
dalam Purba (2003) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan
non-verbal yang dimanifestasikan secara terapeutik.
1. Komunikasi Verbal
Jenis
komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di rumah
sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan
tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata
adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan,
membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan.
Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat
seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan
tiap individu untuk berespon secara langsung.
Komunikasi
Verbal yang efektif harus:
1) Jelas dan ringkas
Komunikasi yang efektif harus
sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan makin
kecil keniungkinan teijadinya kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan
berbicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa
membuat penjelasan lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari
pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa,
bagaimana, kapan, siapa dan dimana. Ringkas, dengan menggunakan kata-kata yang
mengekspresikan ide secara sederhana.
2) Perbendaharaan Kata (Mudah dipahami)
Komunikasi tidak akan berhasil, jika
pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis
yang digunakan dalam keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh
perawat, klien dapat menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau
mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang dimengerti
klien. Daripada mengatakan “Duduk, sementara saya akan mengauskultasi paru paru
anda” akan lebih baik jika dikatakan “Duduklah sementara saya mendengarkan
paru-paru anda”.
3) Arti denotatif dan konotatif
Arti denotatif memberikan pengertian
yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan
pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dipahami
klien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan
kata kritis untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika
berkomunikasi dengan keperawat harus hati-hati memilih kata-kata sehingga tidak
mudah untuk disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan
terapi, terapi dan kondisi klien.
4) Selaan dan kesempatan berbicara
Kecepatan dan tempo bicara yang
tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal. Selaan yang lama dan
pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan
kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Perawat
sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan
perlu digunakan untuk menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada
pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat
dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya,
menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan. Perawat
juga bisa menanyakan kepada pendengar apakah ia berbicara terlalu lambat atau
terlalu cepat dan perlu untuk diulang.
5) Waktu dan Relevansi
Waktu yang tepat sangat penting
untuk menangkap pesan. Bila klien sedang menangis kesakitan, tidak waktunya
untuk menjelaskan resiko operasi. Kendatipun pesan diucapkan secara jelas dan
singkat, tetapi waktu tidak tepat dapat menghalangi penerimaan pesan secara
akurat. Oleh karena itu, perawat harus peka terhadap ketepatan waktu untuk
berkomunikasi. Begitu pula komunikasi verbal akan lebih bermakna jika pesan
yang disampaikan berkaitan dengan minat dan kebutuhan klien.
6) Humor
Dugan (1989) dalam Purba (2003)
mengatakan bahwa tertawa membantu pengurangi ketegangan dan rasa sakit yang
disebabkan oleh stres, dan meningkatkan keberhasilan perawat dalam memberikan
dukungan emosional terhadap klien. Sullivan dan Deane (1988) dalam Purba (2006)
melaporkan bahwa humor merangsang produksi catecholamines dan hormon
yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit,
mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi pernapasan dan menggunakan humor
untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak mampuannya untuk
berkomunikasi dengan klien.
2. Komunikasi Tertulis
Komunikasi
tertulis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan dalam
bisnis, seperti komunikasi melalui surat menyurat, pembuatan memo, laporan,
iklan di surat kabar dan lain- lain.
Prinsip-prinsip
komunikasi tertulis terdiri dari :
1) Lengkap
2) Ringkas
3) Pertimbangan
4) Konkrit
5) Jelas
6) Sopan
7) Benar
Fungsi
komunikasi tertulis adalah:
1) Sebagai tanda bukti tertulis yang
otentik, misalnya;
persetujuan operasi.
2) Alat pengingat/berpikir bilamana diperlukan, misalnya surat
yang telah diarsipkan.
3) Dokumentasi historis, misalnya surat
dalam arsip lama yang digali kembali untuk mengetahui perkembangan masa lampau.
4) Jaminan keamanan, umpamanya surat
keterangan jalan.
5) Pedoman atau dasar bertindak, misalnya surat keputusan, surat perintah, surat pengangkatan.
Keuntungan
Komunikasi tertulis adalah:
1) Adanya dokumen tertulis
2) Sebagai bukti penerimaan dan pengiriman
3) Dapat meyampaikan ide yang rumit
4) Memberikan analisa, evaluasi dan ringkasan
5) menyebarkan informasi kepada
khalayak ramai
6) Dapat menegaskan, menafsirkan dan
menjelaskan komunikasi lisan.
7) Membentuk dasar kontrak atau perjanjian
8) Untuk penelitian dan bukti di
pengadilan
Kerugian
Komunikasi tertulis adalah:
1) Memakan waktu lama untuk membuatnya
2) Memakan biaya yang mahal
3) Komunikasi tertulis cenderung lebih
formal
4) Dapat menimbulkan masalah karena
salah penafsiran
5) Susah untuk mendapatkan umpan balik
segera
6) Bentuk dan isi surat tidak dapat di
ubah bila telah dikirimkan
7) Bila penulisan kurang baik maka akan
membingungkan Si pembaca.
3. Komunikasi Non Verbal
Komunikasi
non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan kata-kata. Merupakan cara
yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Perawat
perlu menyadari pesan verbal dan non-verbal yang disampaikan klien mulai dan
saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat non verbal
menambah arti terhadap pesan verbal. Perawat yang mendektesi suatu kondisi dan
menentukan kebutuhan asuhan keperawatan.
Morris
(1977) dalam Liliweni (2004) membagi pesan non verbal sebagai berikut:
1. Kinesik
Kinesik adalah pesan non verbal yang
diimplementasikan dalam bentuk bahasa isyarat tubuh atau anggota tubuh.
Perhatikan bahwa dalam pengalihan informasi mengenai kesehatan, para penyuluh
tidak saja menggunakan kata-kata secara verbal tetapi juga memperkuat
pesan-pesan itu dengan bahasa isyarat untuk mengatakan suatu penyakit yang berbahaya, obat yang mujarab, cara memakai kondom, cara
mengaduk obat, dan lain-lain.
2. Proksemik
Proksemik yaitn bahasa non verbal
yang ditunjukkan oleh “ruang” dan “jarak” antara individu dengan orang lain
waktu berkomunikasi atau antara individu dengan objek.
3. Haptik
Haptik seringkali disebut zero
proxemics, artinya tidak ada lagi jarak di antara dua orang waktu
berkomunikasi. Atas dasar itu maka ada ahli kumunikasi non verbal yang
mengatakan haptik itu sama dengan menepuk-nepuk, meraba-raba, memegang,
mengelus dan mencubit. Haptik mengkomunikasikan relasi anda dengan seseorang.
4. Paralinguistik
Paralinguistik meliputi setiap
penggunaan suara sehingga dia bermanfaat kalau kita hendak menginterprestasikan
simbol verbal. Sebagai contoh, orang-orang Muang Thai merupakan orang yang
rendah hati, mirip dengan orang jawa yang tidak mengungkapkan kemarahan dengan
suara yang keras. Mengeritik orang lain biasanya tidak diungkapkan secara
langsung tetapi dengan anekdot. Ini berbeda dengan orang Batak dan Timor yang
mengungkapkan segala sesuatu dengan suara keras.
5. Artifak
Kita memehami artifak dalam
komunikasi komunikasi non verbal dengan pelbagai benda material disekitar kita,
lalu bagaimana cara benda-benda itu digunakan untuk menampilkan pesan tatkala
dipergunakan. Sepeda motor, mobil, kulkas, pakaian, televisi, komputer mungkin
sekedar benda. Namun dalam situasi sosial tertentu benda-benda itu memberikan
pesan kepada orang lain. Kita dapat menduga status sosial seseorang dan pakaian
atau mobil yang mereka gunakan. Makin mahal mobil yang mereka pakai, maka makin
tinggi status sosial orang itu.
6. Logo dan Warna
Kreasi pan perancang untuk
menciptakan logo dalam penyuluhan merupaka karya komunikasi bisnis, namun model
keija m dapat ditirn dalam komunikasi kesehatan. Biasanya logo dirancang untuk
dijadikan simbol da suatu karaya organisasi atau produk da suatu organisasi,
terutama bagi organisasi swasta. Bentuk logo umumnya berukuran kecil dengan
pilihan bentuk, warna dan huruf yang mengandung visi dan misi organisasi.
7. Tampilan Fisik Tubuh
Acapkali anda mempunyai kesan
tertentu terhadap tampilan fisik tubuh dari lawan bicara anda. Kita sering
menilai seseorang mulai dari warna kulitnya, tipe tubuh (atletis, kurus,
ceking, bungkuk, gemuk, gendut, dan lain-lain). Tipe tubuh itu merupakan cap
atau warna yang kita berikan kepada orang itu. Salah satu keutamaan pesan atau
informasi kesehatan adalah persuasif, artinya bagaimana kita merancang pesan
sedemikian rupa sehingga mampu mempengaruhi orang lain agar mereka dapat
mengetahui informasi, menikmati informasi, memutuskan untuk membeli atau
menolak produk bisnis yang disebarluaskan oleh sumber informasi. (Liliweri,
2007:108).
E.
Karakteristik Komunikasi Terapeutik
Ada
tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaitu sebagai
berikut: (Arwani, 2003 : 54).
1. Ikhlas (Genuiness)
Semua perasaan negatif yang dimiliki
oleh pasien barus bisa diterima dan pendekatan individu dengan verbal maupun
non verbal akan memberikan bantuan kepada pasien untuk mengkomunikasikan
kondisinya secara tepat.
2. Empati (Empathy)
Merupakan sikap jujur dalam menerima
kondisi pasien. Obyektif dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan
tidak berlebihan.
3. Hangat (Warmth)
Kehangatan dan sikap permisif yang
diberikan diharapkan pasien dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa
rasa takut, sehingga pasien bisa mengekspresikan perasaannya lebih mendalam.
F.
Fase – fase dalam komunikasi terapeutik
1. Orientasi (Orientation)
Pada fase ini hubungan yang terjadi
masih dangkal dan komunikasi yang terjadi bersifat penggalian informasi antara
perawat dan pasien. Fase ini dicirikan oleh lima kegiatan pokok yaitu testing,
building trust, identification of problems and goals, clarification
of roles dan contract formation.
2. Kerja (Working)
Pada fase ini perawat dituntut untuk
bekerja keras untuk memenuhi tujuan yang telah ditetapkan pada fase orientasi.
Bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang masalah-masalah yang
merintangi pencapaian tujuan. Fase ini terdiri dari dua kegiatan pokok yaitu
menyatukan proses komunikasi dengan tindakan perawatan dan membangun suasana
yang mendukung untuk proses perubahan.
3. Penyelesaian (Termination)
Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan
penilaian atas tujuan telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi
yang saling menguntungkan dan memuaskan. Kegiatan pada fase ini adalah
penilaian pencapaian tujuan dan perpisahan (Arwani, 2003 61).
G.
Faktor – faktor hambatan dalam proses
komunikasi terapeutik
Menurut Hery Purwanto, 1994 faktor-faktor yang menghambat proses
komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut
1. Kemampuan pemahaman yang berbeda.
2. Pengamatan / penafsiran yang berbeda karena
pengalaman masa lalu.
3. Komunikasi satu arah
4. Kepentingan yang berbeda.
5. Memberikan jaminan yang tidak mungkin.
6. Memberitahu apa yang harus dilakukan kepada
pasien.
7. Membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi
8. Menuntut bukti, tantangan serta penjelasan dari
pasien mengenai tindakannya.
9. Memberikan kritik tentang perasaan pasien.
10. Menghentikan / mengalihkan topik pembicaraan.
11. Terlalu banyak bicara yang mana seharusnya
mendengarkan.
12. Memperlihatkan sifat jemu, pesimis.
Sementara menurut Kariyoso, 1994 faktor-faktor yang menghambat
proses komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut
1. Kecakapan yang kurang dalam berkomunikasi.
2. Sikap yang kurang tepat.
3. Kurang pengetahuan.
4. Kurang
memahami sistem sosial.
5. Prasangka yang tidak beralasan.
6. Jarak
fisik, komunikasi menjadi tidak lancar jika komunikator berjauhan dengan
receiver.
7. Tidak ada persamaan persepsi
8. Indera yang rusak.
9. Berbicara yang berlebihan.
10. Mendominir pembicaraan dan lain sebagainya.
Sementara itu, hambatan kemajuan hubungan perawat - pasien terdiri atas
tiga jenis utama yaitu:
1. Resistens
2. Transferens
3. Kontertransferens
Hal tersebut timbul karena berbagai alasan dan mungkin terjadi
dalam berbagai bentuk yang berbeda, tetapi semuanya menghambat hubungan
teurapeutik. Oleh karena itu, perawat harus segera mengatasinya. Hambatan ini
menimbulkan perasaan tegang baik bagi perawat maupun pasien yang bisa berkisar
dari ansietas dan kekhawatiran sampai frustasi, cinta atau sangat marah.
1.
Resisten
Resisten adalah upaya pasien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab ansietas yang dialaminya. Resisten merupakan keengganan alamiah atau penghindaran yang dipelajari untuk mengungkapkan atau bahkan mengalami aspek yang bermasalah pada diri seseorang. Sikap ambivalen terhadap eksplorasi diri, yang didalamnya pasien menghargai juga menghindari pengalaman yang menimbulkan ansietas, merupakan bagian normal proses teurapeutik. Resistens utama seringkali merupakan akibat dari ketidak sediaan pasien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah dirasakan. Perilaku resistens biasanya diperlihatkan oleh pasien selama fase kerja karena fase ini memuat sebagian besar proses penyelesaian masalah.
Resisten adalah upaya pasien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab ansietas yang dialaminya. Resisten merupakan keengganan alamiah atau penghindaran yang dipelajari untuk mengungkapkan atau bahkan mengalami aspek yang bermasalah pada diri seseorang. Sikap ambivalen terhadap eksplorasi diri, yang didalamnya pasien menghargai juga menghindari pengalaman yang menimbulkan ansietas, merupakan bagian normal proses teurapeutik. Resistens utama seringkali merupakan akibat dari ketidak sediaan pasien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah dirasakan. Perilaku resistens biasanya diperlihatkan oleh pasien selama fase kerja karena fase ini memuat sebagian besar proses penyelesaian masalah.
Bentuk
resistens yang diperlihatkan pasien:
1. Supresi dan represi informasi terkait
2. Intensifikasi gejala
3. Devaluasi diri dan pandangan keputusasaan
tentang masa depan
4. Dorongan untuk sehat yang terjadi secara
tiba-tiba tetapi hanya kesembuhan yang bersifat sementara
5. Hambatan intelektual yang mungkin tampak ketika
pasien mengatakan bahwa ia tidak mempunyai pikiran apapun atau tidak mampu
memikirkan masalahnya ; tidak menepati janji pertemuan atau datang terlambat
untuk suatu sesi, lupa, diam atau mengantuk
6. Prilaku amuk atau tidak rasional
7. Pembicaraan yang superfisial
8. Pemahaman intelektual yang didalamnya pasien
mengungkapkan pemahaman dirinya dengan menggunakan istilah yang tepat namun
tetap berprilaku maladaptif, atau menggunakan mekanisme pertahanan
intelektualisasi tanpa diikuti pemahaman
9. Muak terhadap normalitas yang terlihat ketika
pasien telah memiliki pemahaman tetapi menolak memikul tanggung jawab untuk
berubah dengan alasannya bahwa normalitas adalah hal yang tidak penting
10. Reaksi transferens
2.
Transferens
Transferens adalah respon tidak sadar yang didalamnya pasien mengalami perasaan dan sikap terhadap perawat yang pada dasarnta terkait dengan tokoh penting dalam kehidupan masa lalu pasien. Istilah ini merujuk pada sekelompok reaksi yang berupaya mengurangi atau menghilangkan ansietas. Sifat yang paling menonjol dari transferens adalah ketidak tepatan respon pasien dalam hal intensitas dan penggunaan mekanisme pertahanan displacement yang maladaptif. Reaksi transferens membahayakan proses teurapeutik hanya bila hal ini tetap diabaikan dan tidak di telaah oleh perawat. Ada dua jenis utama , yaitu reaksi bermusuhan dan tergantung.
Transferens adalah respon tidak sadar yang didalamnya pasien mengalami perasaan dan sikap terhadap perawat yang pada dasarnta terkait dengan tokoh penting dalam kehidupan masa lalu pasien. Istilah ini merujuk pada sekelompok reaksi yang berupaya mengurangi atau menghilangkan ansietas. Sifat yang paling menonjol dari transferens adalah ketidak tepatan respon pasien dalam hal intensitas dan penggunaan mekanisme pertahanan displacement yang maladaptif. Reaksi transferens membahayakan proses teurapeutik hanya bila hal ini tetap diabaikan dan tidak di telaah oleh perawat. Ada dua jenis utama , yaitu reaksi bermusuhan dan tergantung.
3.
Kontertransferens
Kontertransferens
yaitu kebuntuan teurapeutik yang dibuat oleh perawat, bukan oleh pasien.
Kontertransferens merupakan respons emosinal spesifik oleh perawat terhadap
pasien yang tidak sesuai dengan intensitas emosi. Kontertransferens adalah
transferen yang diterapkan pada perawat. Respon perawat tidak dapat dibenarkan
oleh kenyataan,tetapi lebih mencerminkan konflik terdahulu yang dialami terkait
dengan isu-isu seperti otoritas,keasertifan,gender, dan kemandirian.
Reaksi kontertransferens biasanya berbentuk salah satu dari 3
jenis, yaitu reaksi,mencintai atau perhatian berlebihan,reaksi sangat
bermusuhan atau membenci, dan reaksi sangat cemas, seringkali menjadi respon
terhadap resisten pasien.
Beberapa
bentuk countertransfer yang diperlihatkan oleh perawat :
1.
Kesulitan ber-empati terhadap pasien dalam area masalah tertentu.
2.
Perasaan tertekan setelah sesi.
3.
Kecerobohan dalam mengimplementasikan kontra seperti datang
terlambat,atau melampaui waktu yang telah ditentukan.
4.
Mengantuk selama sesi.
5.
Perasaan marah atau tidak sabar karena ketidak inginan pasien untuk
berubah.
6.
Dorongan terhadap ketergantungan, pujian, atau afeksi pasien.
7.
Berdebat dengan pasien atau kecenderungan untuk memaksa pasien
sebelum ia siap.
8.
Mencoba untuk membantu pasien dalam segala hal yang tidak
berhubungan dengan tujuan keperawatan yang telah diidentifikasi.
9.
Keterlibattan dengan pasien dalam tingkat personal atau sosial.
10. Melamunkan atau preokupasi dengan pasien.
11. Fantasi seksual atau agressive dengan pasien.
12. Perasaan ansietas, gelisah, atau perasaan
bersalah terhadap pasien terjadi berulang kali.
13. Kecenderungan untuk berfokus hanya pada satu
aspek informasi dari pasien atau menganggap hal tersebut sebagai satu-satunya
cara.
14. Kebutuhan untuk mempertahankan intervensi
keperawatan kepada pasien.
H.
Pelanggaran Batasan
Pelanggaran batasan terjadi ketika perawat melampaui batasan
hubungan teurapeutik dan membina hubungan sosial, ekonomi, atau personal dengan
pasien. Sebagai ketetapan umum, kapanpun perawat melakukan atau memikirkan
sesuatu yang khusus, berbeda atau luar biasa terhadap pasien, biasanya terjadi
pelanggaran batasan. Hubungan seksual dalam bentuk apapun tidak akan pernah teurapeutik
dan tidak dapat diterima dalam hubungan perawat-pasien.
Contoh
pelanggaran batasan yang mungkin terjadi:
1. Pasien mengajak perawat makan siang atau makan
malam diluar.
2. Hubungan profesional berubah menjadi hubungan
sosial.
3. Perawat menghadiri pesta atas undangan pasien.
4. Perawat secara teratur memberikan informasi
personal kepada pasien.
5. Pasien mengenalkan perawat kepada anggota
keluarganya seperti anaknya untuk tujuan sosial.
6. Perawat menerima hadiah dari bisnis pasien.
7. Perawat setuju menemui pasien untuk terapi
diluar tatanan yang biasanya tanpa alasan yang teurapeutik.
8. Perawat menghadiri acara-acara sosial pasien.
9. Pasien memberikan hadiah - hadiah yang mahal
kepada perawat
10. Perawat secara rutin memeluk atau memegang
pasien.
11. Perawat menjalankan bisnis atau membeli barang
dari pasien.
I.
Mengatasi Hambatan Teurapeutik
Untuk mengatasi hambatan teurapeutik, perawat harus siap
mengungkapkan perasaan emosional yang sangat kuat dalam konteks hubungan
perawat -pasien. Awalnya , perawat harus mempunyai pengetahuan tentang hambatan
teurapeutik dan mengenali prilaku yang menunjukkan adanya hambatan tersebut.
Kemudian perawat dapat mengklarifikasi dan mengungkapkan perasaan serta isi
agar lebih berfokus secara objektif pada apa yang sedang terjadi.
Latar belakang prilaku dikaji, baik pasien (untuk reaksi resistens
dan transferensa) atau perawat (untuk reaksi kontertransferens dan pelanggaran
batasan) bertanggung jawab terhadap hambatan teurapeutik dan dampak negatifnya
pada proses teurapeutik. Terakhir, tujuan hubungan, kebutuhan, dan masalah
pasien ditinjau kembali. Hal ini dapat membantu perawat untuk membina kembali
kerja sama teurapeutik yang sesuai dengan proses hubungan perawat-pasien.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Kemampuan
menerapkan teknik komunikasi terapeutik memerlukan latihan dn kepekaan serta
ketajaman perasaan, karena komunikasi terjadi tidak dalam kemampuan tetapi
dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi keberhasilan
komunikasi yang terlihat melalui dampak terapeutiknya bagi klien dan juga
kepuasan bagi tenaga kesehatan.
2. Komunikasi juga
akan memberikan dampak terapeutik bila dalam penggunaanya diperhatikan sikap
dan teknik komunikasi terapeutik. Hal lain yang cukup penting diperhatikan
adalah dimensi hubungan. Dimensi ini merupakan faktor penunjang yang sangat
berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berhubungan terapeutik.
B.
Saran
1. Dalam melayani
klien hendaknya tenaga kesehatan selalu berkomunikasi dengan klien untuk
mendapatkan persetujuan tindakan yang akan dilakukan.
2. Dalam
berkomunikasi dengan klien hendaknya tenaga kesehatan menggunakan bahasa yang
mudah di mengerti oleh klien sehingga tidak terjadi kesalahpahaman komunikasi.
3. Dalam
menjalankan profesinya hendaknya perawat selalu memegang teguh etika
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Arwani,
2003. Komunikasi Dalam Keperawatan.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Christina,
L.I Untung, S. & Tatik, I. 2003. Komunikasi Kebidanan. Jakarta: EGC.
Indrawati.
2003. Komunikasi Untuk Perawat.
Jakarta: EGC.
Liliweri, Alo. 2007. Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi
4. Jakarta: EGC.
Komentar
Posting Komentar