PEMERIKSAAN TELUR CACING PARASIT PADA FESES (METODE APUNG DENGAN DAN TANPA DISENTRIFUGASI SERTA METODE MODIFIKASI HARADA MORI)





PEMERIKSAAN TELUR CACING  PARASIT PADA FESES (METODE APUNG DENGAN DAN TANPA DISENTRIFUGASI SERTA METODE MODIFIKASI HARADA MORI)



DISUSUN OLEH :
NURI DYAH AYU PITALOKA
G1B014062



KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKWERTO
               2015           
 
A.    PENDAHULUAN

1.        Latar Belakang
Mahluk hidup sebagai pemegang peranan penting dalam epidemiologi yang merupakan penyebab penyakit dapat dikelompokkan menjadi: Golongan virus, Golongan riketsia, Golongan bakteri, Golongan protozoa, Golongan jamur, dan Golongan cacing. Setiap bibit penyakit punya habitat sendiri-sendirim sehingga ia dapat tetap hidup.(Notoatmodjo, 2011)
Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit berupa cacing. Berdasarkan taksonomi, helmin dibagi menjadi ; Nemathelminthes (cacing gilig, nema = benang) dan Platyhemlinthes (cacing pipih). (Sutanta, 2008)

Prevalensi helminthiasis atau kecacingan sangat tinggi di dunia terutama di daerah tropis.Penyakit ini merupakan penyebab kesakitan terbanyak di seluruh dunia. Tiga setengah miliar penduduk dunia terinfestasi parasit intestinal, termasuk cacing perut (Ascaris lumbricoides,Trichiuristrichiura, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan empat ratus lima puluh juta diantaranya mengenai anak-anak. Menurut laporan Bank Dunia, di negara berkembang diperkirakan diantara anak usia 5-14 tahun, helminthiasis merupakan penyumbang terbesar angka kesakitan (12% anak perempuan dan 11% anak laki-laki). (Maharani, 2013)
Pengetahuan murid SD tentang kecacingan menunjukan bahwa lebih dari setengah responden tidak pernah mendengar tentang penyakit kecacingan, tidak mengetahui gejala dan jenis-jenis cacing, walaupun ada beberapa murid yang mengetahui sumber penularan penyakit kecacingan dan pencegahannya. (Chadijah, 2014)
Pemeriksaan feses dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif.Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya. (Maharani, 2013)
2.        Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
a.       Mengetahui pemeriksaan feses dengan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) serta metode Harada Mori.
b.      Mengetahui adanya telur dan larva cacing parasit dalam sampel feses.
c.       Mendiagnosa infeksi cacing parasit dalam tubuh responden yang diperiksa fesesnya.



























B.     METODE
1.        Metode Pemeriksaan
Dalam praktikum pemeriksaan telur cacing pada feses, digunakan sampel dari ananda Ade Rahma Agustin, siswa kelas 1 SDN 2 Karangwangkal. Sebelum diakadaknnya praktikum ini, praktikan terlebih dahulu mengunjungi kediaman responden di Karangwangkal RT 3 RW 2 untuk meminta izin kepada orangtua/wali dari responden. Selanjutnya praktikan menjelaskan tujuan dan memberikan wadah atau tempat sampel. Sampel yang diambil masih dalam keadaan segar, karena diambil pada pagi hari sebelum praktikum. Metode yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan feses ini adalah :
a.       Metode Apung (Flotation Method)
Pada metode ini dipakai NaCl jenuh (33%) dan terutama dipakai untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Prinsip kerjanya didasarkan atas berat jenis (BJ) telur yang lebih ringan daripada BJ NaCl, sehingga telur-telur akan terapung di permukaan dan juga untuk memisahkan partikel yang besar dalam tinja. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistosoma, Dibhriacephalus, telr-telur yang berpori dari family Taenidae, Achantochepala atau Ascaris yang infertile.
Metode ini terbagi menjadi dua macam yaitu :
1). Metode apung tanpa disentrifugasi
2). Metode apung dengan disentrifugasi
b.      Metode Harada Mori
Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing A.duodenale, N.americanus, Strongyloides stercoralis dan Trichostrongylus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Dengan teknik ini, telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama ±7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan di dalam air yang terdapat pada ujung kantung plastik.
2.        Alat dan Bahan
a.       Metode Apung  (Flotation Method)
1.)    Metode Apung Tanpa Disentrifugasi
Alat dan bahan yang digunakan dalam metode apung tanpa disentrifugasi adalah :
a.)    Mikroskop
b.)    Object glass
c.)    Cover glass
d.)   Beker glass
e.)    Lidi
f.)     Penyaring teh
g.)    Tabung reaksi
h.)    Rak tabung reaksi
i.)      10 gram tinja
j.)      200 ml larutan NaCl jenuh (33%)
2.)    Metode Apung dengan Disentrifugasi
Alat dan bahan yang digunakan dalam metode apung dengan disentrifugasi adalah :
a.)    Mikroskop
b.)    Object glass
c.)    Cover glass
d.)   Beker glass
e.)    Lidi
f.)     Jarum ose
g.)    Penyaring teh
h.)    Tabung sentrifugasi
i.)      Alat sentrifugasi
j.)      Rak tabung
k.)    10 gram tinja
l.)      200 ml NaCl jenuh (33%)
b.      Metode Harada Mori
Alat dan bahan yang digunakan dalam metode Harada Mori adalah :
a.)    Kantung plastik berukuran 30-200 mm
b.)    Kertas saring ukuran 3 x 5 cm
c.)    Lidi
d.)   Aquades steril
e.)    Tempat penggantung plastik
f.)     Spidol/Pensil warna
3.        Cara Kerja
a.       Metode Apung (Flotation Method)
1.)    Metode Apung Tanpa Disentrifugasi
a.)    200 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan dalam beker glass.
b.)    10 gram tinja diambil dengan lidi kemudian dimasukan dan diaduk bersama 200 ml NaCl jenuh (33%) dalam beker glass.
c.)    Setelah diaduk, disaring dengan penyaring teh.
d.)   Hasil saringan dituangkan dalam tabung reaksi sampai cembung pada permukaan tabung reaksi.
e.)    Tabung reaksi yang berisi saringan tinja dan NaCl jenuh (33%) di letakan dalam rak tabung reaksi dan ditunggu 5-10 menit.
f.)     Cover glass diletakan di atas permukaan tabung reaksi lalu diangkat.
g.)    Cover glass diletakan di atas object glass dengan cairan yang berada diantara object dan cover glass.
h.)    Object glass diamati di bawah mikroskop.
2.)    Metode Apung dengan Disentrifugasi
a.)    200 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan dalam beker glass.
b.)    10 gram tinja diambil dengan lidi kemudian dimasukan dan diaduk bersama 200 ml NaCl jenuh (33%) dalam beker glass.
c.)    Setelah diaduk, disaring dengan penyaring teh.
d.)   Hasil saringan dituangkan dalam tabung sentrifugasi (jangan sampai penuh).
e.)    Tabung sentrifugasi dimasukan dalam sentrifugator selama 5 menit dengan putaran 10 kali tiap menit.
f.)     Permukaan sampel pada tabung sentrifugasi diambil dengan jarum ose, lalu dioleskan pada permukaan object glass.
g.)    Object glass ditutup dengan cover glass.
h.)    Diamati dibawah mikroskop.
b.      Metode Harada Mori
1.)    Plastik diisi dengan aquades ±3 ml.
2.)    Kertas saring dilipat mebujur menjadi dua bagian kemudian ujung-ujungnya dilipat sehingga membentuk segitiga.
3.)    Dengan lidi, tinja  dioleskan pada kertas saring sampai mengisi sepertiga bagian tengahnya.
4.)    Kertas saring yang telah diolesi tinja dimasukan dalam plastik  hingga ujung kertas menyentuh permukaan aquades namun jangan tinja sampai tercelup ke aquades.
5.)    Nama responden, tanggal pemeriksaan dan kelompok praktikan ditulis kemudian ditempel pada plastik.
6.)    Plastik yang berisi aquades dan sampel tersebut disimpan selama ±7 hari pada suhu kamar.
7.)    Setelah ±7 hari digantung, plastik kemudian digunting pada ujungnya, kemudian aquades dalam plastik dioleskan diatas object glass, lalu ditutup dengan cover glass.
8.)    Diamati dibawah mikroskop.














C.    HASIL
Dalam  pemeriksaan infeksi parasit pada anak kelas 1 SD 2 Karangwangkal, Purwokerto Utara, Banyumas dengan data :
Nama : Ade Rahma Agustin
Umur : 7 Tahun
Alamat : Karangwangkal RT 3 RW 2, Purwokwro Utara, Banyumas
maka didapatkan hasil :
1.    Metode Apung (Flotation Method)
a.    Metode Apung tanpa Disentrifugasi
No
Spesies cacing
Telur cacing
Positif
Negatif
1.
A. lumbricoides

2.
T. trichiura

3.
E.vermicularis







b.      Metode Apung dengan Disentrifugasi
No
Spesies cacing
Telur cacing
Positif
Negatif
1.
A. lumbricoides

2.
T. trichiura

3.
E.vermicularis







2.    Metode Harada Mori
No
Spesies cacing
Larva infektif cacing
Positif
Negatif
1.
A. duodenale

2.
N. americanus

3.
S. stercoralis







Dari pemeriksaan yang dilakukan melalui ketiga metode di atas maka hasil yang didapatkan adalah negatif atau responden tidat terinfeksi cacing parasit.
                                            

























D.    PEMBAHASAN
Dalam praktikum pemeriksaan infeksi parasit pada feses anak SD dengan menggunakan beberapa metode, praktikan menjumpai beberapa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metodenya. Kelebihan dan kekurangan tersebutm, adalah sebagai berikut :
1.    Metode Apung
a.       Metode Apung tanpa Disentrifugasi
Kelebihan :
ü  Telur dapat terlihat dengan jelas.
ü  Dapat digunakan dalam infeksi berat maupun ringan.
Kekurangan :
ü  Waktu yang diperlukan lama.
ü  Membutuhkan ketelitian agar sampel yang dituangkan dalam tabung reaksi membentuk cembung di permukaan tabung.
ü  Membutuhkan ketelitian agar telur pada permukaan tidak turun lagi.
ü  Sampel yang dibutuhkan lumayan banyak.
b.      Metode Apung dengan Disentrifugasi
Kelebihan :
ü  Dapat digunakan untuk infeksi berat maupun ringan.
ü  Telur dapat terlihat dengan jelas karena kotoran sudah terpisah saat tabung sentrifugasi dimasukan dalam sentrifugator.
ü  Waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan Metode Apung tanpa Disentrifugasi.
Kekurangan :
ü  Membutuhkan ketelitian dan kehati-hatian saat permukaan sampel dalam tabung sentrifugasi akan diambil dengan jarum ose.
ü  Membutuhkan ketelitian agar telur tidak turun lagi.
2.    Metode Harada Mori
Dibawah ini merupakan kelebihan dan kekurangan saat kelompok praktikan melakukan pemeriksaan feses Ade Rahma Agustin dengan menggunakan  metode Harada Mori :
Kelebihan :
ü Lebih mudah diamati saat berada dibawah mikroskop karena larva infektif berukuran lebih besar daripada telur.
ü Sampel yang digunakan lebih sedikit.
Kekurangan :
ü Membutuhkan waktu yang lama karena harus disimpan selama ±7hari.
ü Hanya dilakukan untuk identifikasi larva cacing tambang.
ü Membutuhkan ketelitian dan kehati-hatian saat memasukan ketas saring dalam plastik.
ü Setelah ±7 hari sampel dalam plastik terlalu sedikit.
Berdasarkan tabel hasil pemeriksaan feses Ade Rahma Agustin dengan Metode Apung ( tanpa Disentrifugasi dan dengan Disentrifugasi) maupun Metode Harada Mori tidak ditemukan telur maupun larva infektif dari cacing parasit. Hal ini menunjukan bahwa Ade Rahma Agustin tidak terinfeksi cacing parasit. Namun jika diamati berdasarkan kuisioner, terdapat beberapa hal yang kurang sehat dan memiliki kemungkinan mendukung terjadinya infeksi cacing parasit. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah responden sering mengkonsumsi sayuran atau lalapan, tidak rutin mengkonsumsi obat cacing, suka mengambil makanan yang sudah terjatuh dan suka bermain tanah. Kondisi lingukan dan rumah responden juga mendukung terjadinya infeksi cacing parasit karena di dekat rumah responden terdapat kandang ternak ayam, juga tidak tersedianya sabun cuci tangan di rumah.
Beberapa kemungkinan yang menyebabkan hasil pemeriksaan negatif adalah sebagai berikut :
1.      Sampel atau feses diperoleh dari orang yang tidak terinfeksi cacing parasit usus.
2.      Praktikan kurang teliti saat melakukan pemeriksaan sampel.
3.      Kecerobohan praktikan saat melakukan pemeriksaan sampel.
4.      Kurang pahamnya praktikn pada bentu morfologi telur maupun larva cacing parasit.
5.      Praktikan belum terlalu mampu menggunakan mikroskop.
6.      Pada saat pengambilan feses, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukan telur cacing parasit pada feses.
7.      Pada metode Harada Mori, aquades yang digunakan terlalu sedikit sehingga kemungkinan larva sudah mati karena aquades sudah habis saat disimpan.
Pada pengamatan melalui metode apung ini dapat ditemukan telur infektif dari Ascaris lumbricoides dan Trichiuris trichiura. Beberapa survei di Indonesia menunjukan bahwa seringkali prevalensi Ascaris yang tinggi dan Thrichiuris yang tinggi pula. Prevalensi Ascaris yang lebih tinggi dari 70% ditemukan antara lain di beberapa desa di Sumatera (78%), Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusta Tenggara Barat (92%) dan Jawa Barat (90%). Di desa tersebut prevalensi Thrichiuris juga tinggi yaitu masing-masing daerah 83%, 83%, 83%, 84%, dan 91%. (Sutanta, 2008)
Ascaris lumbricoides mempunyai 2 jenis telur yaitu : telur yang sudah dibuahi (telur fertil) dan telur yang belum dibuahi (infertil). Telur yang sudah dibuahi memiliki ciri-ciri :oval, berdinding tebal, berwarna kekuning-kuningan diliputi lapisan albuminoid yang tidak rata, berisi embrio yang belum masak. Sedangkan telur infertil memiliki ciri-ciri :lonjong, lebih panjang dan biasanya lebih tipis serta berisi granula. (Soedarto, 2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan diatas tidak terdapat dalam sampel feses Ade Rahma Agustin, maka dapat dinyatakan bahwa Ade Rahma Agustin tidak terinfeksi Ascaris lumbricoides.
Trichiuris trichiura memiliki telur berukuran 50x25µ, berbentuk mirip tempayan kayu atau biji melon, berwarna coklat, dan memiliki 2 kutub jernih yang menonjol. (Soedarto, 2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan diatas tidak terdapat dalam sampel feses Ade Rahma Agustin, maka dapat dinyatakan bahwa Ade Rahma Agustin tidak terinfeksi Trichiuris trichiura.
Sedangkan dengan metode Harada Mori dapat ditemukan larva infektif cacing tambang dan Strongyloides stercoralis. Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30-50% di berbagai daerah di Indonesia. (Sutanta, 2008)
Morfologi telur antar cacing tambang sulit dibedakan. Telur cacing tambang berbentuk lonjong dengan ukuran sekitar 64x40µ, telur tidak berwarna dan berdinding tipis tembus sinar. (Soedarto, 2011). Ciri-ciri tersebut tidak ditemukan dalam sampel feses Ade Rahma Agustin, maka dapat dinyatakan bahwa Ade Rahma Agustin tidak terinfeksi cacing tambang.
Strongyloides stercoralis memiliki telur berukuran 55x30µ, berbentuk lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja. Larva rabdhitiform mempunyai ukuran 200-250µ memiliki esophagus dan bulbus esophagus yang mengisi ¼ bagian anterior. (Soedarto, 2011). Ciri-ciri tersebut tidak ditemukan dalam sampel feses Ade Rahma Agustin, maka dapat dinyatakan bahwa Ade Rahma Agustin tidak terinfeksi Stongyloides stercoralis.
Dalam jurnal internasionalnya Alemu dkk (2011) menyatakan bahwa lebih dari 319 studi pemasalahan 263 (82,45) dan 251 (78,1%) telah menjumpi satu atau lebih parasit dalam teknik Kato Katz dan teknik Wet Mount secara terus menerus. A. Lumbricoides memiliki isolasi yang paling dominan (22%) diikuti oleh Hookworm (19%) dan T. Trichiura (2,5%).
Sedangkan dalam jurnal internasional lainnya di Malaysia, Ahmed dkk (2011) menyatakan total dari 254 sekolah dasar penduduk asli (51,2% perempuan dan 48% laki-laki) dengan rata-rata umur 9,5 tahun mengalami infeksi cacing parasit. Kebanyakan terjadi pada orang yang tinggal di rumah tanpa adanya toilet dan atau mengonsumsi air yang tercemar.
Dari observasi di lapangan menunjukkan sebagian besar dari rumah responden untuk semua komponen sanitasi lingkungan rumah tidak memenuhi syarat kesehatan. Ketersediaan air bersih di rumah siswa yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 23% rumah memenuhi syarat kesehatan dan 77% rumah tidak memenuhi syarat kesehatan. Ketersediaan jamban di rumah siswa yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 43% rumah memenuhi syarat kesehatan dan 57% rumah tidak memenuhi syarat kesehatan. Ketersediaan SPAL di rumah siswa yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 41% rumah memenuhi syarat kesehatan dan 59% rumah tidak memenuhi syarat kesehatan. Ketersediaan tempat sampah di rumah siswa yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 23% rumah memenuhi syarat kesehatan dan 77% rumah tidak memenuhi syarat kesehatan. Kondisi halaman di rumah siswa yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 49% rumah memenuhi syarat kesehatan dan 51% rumah tidak memenuhi syarat kesehatan. Sanitasi lingkungan rumah berdasarkan kriteria rumah sehat yaitu ketersediaan air bersih, jamban, SPAL, tempat sampah dan kondisi halaman rumah adalah sebanyak 19% rumah memenuhi syarat kesehatan dan 81% rumah tidak memenuhi syarat kesehatan. (Fitri, 2012)
Menurut Salim (2013) di dalam kotoran ternak yang digunakan sebagai pupuk mengandung telur dan larva cacing yang dapat menyebabkan penyakit cacingan terhadap manusia sehingga penularannya lebih mudah karena tangan yang kontak langsung dengan pupuk kandang menyebabkan petani terinfeksi cacingan lewat kulit dan kuku yang kotor.
Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi infeksi cacing secara tuntas, maka upaya pencegahan dan terapi merupakan usaha yang sangat bijaksana dalam memutus siklus penyebaran infeksinya. Pemberian obat anti cacing secara berkala setiap 6 bulan dapat pula dikerjakan. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan serta sumber bahan pangan adalah merupakan sebagian dari usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing. Memasyarakatkan cara-cara hidup sehat, terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana usia ini merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan memperkenalakan kebiasaan-kebiasaan baru yaitu kebiasaan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala seperti:
1.      Membudayakan kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri, anak dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum makan.
2.      Memakai alas kaki jika menginjak tanah.
3.      Menggunting dan membersihkan kuku secara teratur.
4.      Tidak buang air besar sembarangan dan cuci tangan saat membasuh.
5.      Bercocok tanam atau berkebun dengan baik.
6.      Peduli dengan lingkungan.
7.      Mencucilah sayur dengan baik sebelum diolah.
8.      Berhati-hati saat makan makanan mentah atau setengah matang, terutama di daerah yang sanitasinya buruk.
9.      Membuang kotoran hewan peliharaan kesayangan pada tempat pembuangan khusus.
10.  Melakukan pencegahan dengan meminum obat anti cacing setiap 6 bulan, terutama bagi yang risiko tinggi terkena infestasi cacing, seperti petani, anak-anak yang sering bermain pasir, pekerja kebun, dan pekerja tambang (orang-orang yang terlalu sering berhubungan dengan tanah).
11.  Jika penyakit kecacingan ini sudah menjangkit sebaiknya dilakukan pengobatan dengan cara penanganan untuk mengatasi infeksi cacing dengan obat-obatan merupakan pilihan yang dianjurkan. Obat anti cacing golongan pirantel pamoat (combantrin dan lain-lain) merupakan anti cacing yang efektif untuk mengatasi sebagian besar infeksi yang disebabkan parasit cacing. Intervensi berupa pemberian obat cacing (obat pirantel pamoat 10 mg/ kg BB dan albendazole 10 mg/kg BB) dosis tunggal diberikan tiap 6 bulan pada anak untuk mengurangi angka kejadian infeksi ini pada suatu daerah. Paduan yang serasi antara upaya prevensi dan terapi akan memberikan tingkat keberhasilan yang memuaskan, sehingga infeksi cacing secara perlahan dapat diatasi secara maksimal, tuntas dan paripurna. (Athiroh, 2005)











E.     KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :
1.    Hasil yang didapatkan dari pemeriksaan metode Apung ( dengan dan tanpa disentrifugasi) adalah negatif, yang berarti bahwa tidak ditemukan telur cacing parasit dalam feses yang telah diperiksa sehingga di duga responden tidak terinfeksi cacing parasit.
2.    Hasil yang didapatkan dari pemeriksaan metode Harada Mori adalah negatif, yang berarti bahwa tidak ditemukan larva cacing parasit dalam feses yang telah diperiksa sehingga di duga responden tidak terinfeksi cacing parasit























DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, et al. 2011. “The Burden of Moderate-to-Heavy Soil-Transmitted Helminth Infections among Rural Malaysian Aborigines : An Urgent Need for Integrated Control Programe”. Journal of Parasites and Vector. Vol. 4 :242.
Alemu, et al. 2011. “Soil Transmitted Helminths And Schistosoma Mansoni Infections Among School Children In Zarima Town, Northwest Ethiopia”. Journal of BMC Infectious Diseases. Vol.11:189.
Chadijah, Siti,  Phetisya P.F Sumolang, Ni Nyoman. 2014. “Hubungan Pengetahuan, Perilaku, Dan Sanitasi Lingkungan Dengan Angka Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Kota Palu (The Association Of Knowledge, Practice And Enviromental Sanitation And Soil Transmitted Helminth Prevalence In Elementary School Student In Palu Municipality) “. Media Litbangkes Vol. 24 (01) : 50-56.
Fitri, Juni., Saam, Z., Hamidy , MY. 2012. “Analisis Faktor-Faktor Risiko Infeksi Kecacingan Murid Sekolah Dasar Di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012”. Jurnal Ilmu Lingkungan Program studi Ilmu Lingkungan PPS Riau. Vol. 6 (2).
Maharani, P. Anggitha, Liena, Sofiana. 2013. “Validitas Metode Apung Pemeriksaan Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar”. Jurnal, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2011. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta:       Rineka Cipta
Salim, Maulidiyah. 2013. “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Positif Telur Cacing Soil Transmitted Helminth (Sth) Pada Petani Pengguna Pupuk Kandang Di Desa Rasau Jaya Umum Tahun 2013”. Jurnal, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro.
Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Sagung Seto.           
Sutanta, Inge, dkk. 2009. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
















LAMPIRAN

                      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu

PEMERIKSAAN CACING TREMATODA PADA KEONG